Jumat, 24 Agustus 2012

DIALOG IMAJINER DENGAN NURCHOLIS MASJID



(Benarkah saya termasuk orang yang bertakwa)

Saudara-saudaraku yang di muliakan Allah
Inilah pesan pasca Ramadhan yang kusampaikan sebagai bahan renungan menghadapi dinamika kehidupan keseharian. Ramadhan telah usai dan kita masih diliputi dengan suasana merayakan hari kemenangan melawan hawa nafsu. Dan kita proklamasikan kepada khalayak bahwa saya termasuk golongan orang bertakwa  dengan ciri ketika menuju kelapangan untuk shalat idul fitri dengan berbaju Takwa, sarung baru serta tutup kepala yang putih bersih, dan dibahu terselempang sorban kotak model Yasser Arafat. Dengan ciri demikian benarkah kita termasuk golongan orang yang bertakwa? Jawabnya hanya Allah dan sudaraku yang tahu, sebab bertakwa atau tidak kita sendirilah yang dapat mengukurnya.  Allah Swt berfirman,”
Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui." Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Ali Imran (3) : 29)
Nurcholish Madjid (alm) dalam berbagai pesan takwanya di Masjid Paramadina  menguraikan tentang puasa dan berbagai implikasinya. Untuk  memahami lebih  lanjut  pesan takwa khususnya tentang puasa disajikan dalam bentuk dialog imajinair,  tanya jawab dengan Nurcholish Madjid
Tanya : Di dalam surat Al Baqarah 183 dijelaskan bahwa tujuan puasa adalah agar kamu bertakwa.  Bagaimana puasa bisa mengantarkan kita kepada kondisi takwa ?
Jawab :  Karena puasa adalah ibadah yang paling pribadi. Paling personal.  Jika ibadah lain mudah tampak oleh mata, maka tidak demikian dengan puasa. Seorang mengerjakan salat atau tidak, bisa kita ketahui.  Kita  juga  bisa tahu, apakah seseorang  membayar zakat atau tidak. Orang yang beribadah haji lebih mudah lagi kita ketahui. Karena haji adalah ibadah yang sangat demonstratif. Tetapi, tidak  ada yang tahu kita benar-benar berpuasa, kecuali diri kita sendiri dan Allah Swt.  Karena cukuplah puasa kita batal hanya dengan meminum seteguk air pada pada waktu  kita tak tahan dan sendirian. Dengan seteguk air yang kita mengharapkan untuk meringankan derita haus, maka seluruh puasa kita telah hilang. Hal itu hanya kita sendiri dan Allah swt yang tahu. Itulah sebabnya dalam sebuah hadis Qudsi,  dijelaskan : “ Dari Abu Shalih Az Zayyat, ia mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, Allah berfirman, “ setiap amal anak Adam bagi dirinya, puasa itu untukKu  dan Akulah yang menanggung pahalanya (HR Bukhari)
Tanya : Kata puasa yang kita pinjam dari bahasa Sansekerta, sebagai terjemahan dari kata shawm atau shiyam, mempunyai makna menahan diri. Apakah yang dimaksud menahan diri disini ?
Jawab :  Ibadah puasa adalah ibadah melatih menahan diri. Karena kelemahan manusia yang terbesar ialah ketidaksanggupan menahan diri. Ini dilambangkan dalam kisah kekek kita yaitu Adam. Ketika dia bersama isterinya Hawa dipersilahkan oleh Allah swt untuk tinggal di surga dan diberikan kebebasan untuk menikmati apa saja yang tersedia di surga. Semuanya boleh, hanya satu pohon yang tidak boleh. Allah sudah membuat perjanjin, namun Adam rupanya lupa dan kurang teguh kemauannya. Digambarkan dalam Al Qur’an.
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. (Qs Thahaa : 115)
Ini adalah drama kosmis yang melambangkan karakter manusia. Bahwa kelemahan manusia terletak ketidak mampuannya menahan diri dari golongan keserakahan. Dan kita adalah cucu Adam mempunyai potensi menjadi seperti kakek kita, jatuh tidak terhormat. Maka puasa bertujuan untuk mengingatkan kita bahwa kita harus menahan diri.
Tanya  : Apa ukuran kita dapat menahan diri ?
Jawab : Ukuran puasa bukanlah lapar dan dahaga. Seolah-olah makin lapar dan semakin dahaga, pahalanya  semakin besar.  Tidak demikian. Pahala puasa tergantung kepada sikap jiwa. Dalam hadis disebutkan sebagai jiwa imanan wa ihtisaban. Yaitu, penuh percaya kepada Allah dan penuh perhitungan kepada diri sendiri. Dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda “Barangsiapa berpuasa dengan penuh iman dan penuh instropeksi, maka seluruh dosanya dimasa lalu akan diampunkan oleh Allah (HR Bukhari).
Tanya : Apakah yang dimaksud penuh instropeksi disini ?
Jawab : Instropeksi diri adalah memeriksa diri sendiri dengan menanyai diri sendiri, dapat dilakukan dengan tafakkur, i’tikaf  serta melaksanakan shalat malam. Karena pada waktu itu adalah moment yang baik untuk bertanya secara jujur sebetulnya siapa saya ini ? Apakah betul saya ini orang baik ? Apa betul yang saya lakukan adalah benar-benar kebaikan ?
Tanya : Adakah contoh untuk memberikan gambaran deretan pertanyaan diatas ?
Jawab : Ada perumpamaan karikatural. Ketika rumah kita diketok orang yang meminta sedekah/uang lalu kita memberinya uang, ikhlaskah pemberian kita? Ataukah untuk mengusir orang itu supaya lekas pergi ? Ada satu batas yang kadang tidak tampak. Kelihatannya sedekah, tetapi sebetulnya perlakuan kasar. Karena kita menghendaki orang itu lekas pergi. Kadang-kadang kita katakan kepada anak kita atau pembantu kita “kasih orang itu uang biar lekas pergi.” Kelihatannya sedekah tapi sebetulnya mengusir.
Tanya : Apakah hikmah instropeksi diri dikatkan dengan puasa?
Jawab : Puasa menjadi kesempatan untuk instrospeksi total, sebetulnya siapa diri kita. Semua aktifitas perlambang bahwa kita tidak punya pretensi apa-apa. Tidak punya perasaan sebagai orang baik dan sebagainya. Hanya dengan instropeksi seperti itu taubat kita diterima  dan  kita mendapat petunjuk dari Allah   Swt.
Tanya : Mohon pesan terakhir supaya, puasa kita tidak sia-sia ?
Jawab :  Renungkan semua itu, agar supaya puasa kita betul-betul menjadi lebih baik. Jangan sampai panas setahun hilang oleh hujan sehari. Jangan sampai puasa kita sepanjang bulan Ramadhan lewat terhapus begitu saja oleh kesalahan kita. Nabi saw memperingatkan : Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, barang siapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan kotor dan (tak bisa meninggalkan) perbuatan kotor maka Allah tidak punya keinginan apa-apa meskipun orang itu meninggalkan makan dan minum (HR Bukhari),
Allah tidak peduli,  Artinya puasa kita menjadi sia-sia.
Wallahu ‘alam bish shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar