Bismillahirrahmanirrahiim
(Dengan
Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Saudaraku yang dirahmati dan diberkati Allah.
Sesungguhnya segala
puji hanya kepada Allah. Kita memujiNya,
memohon pertolongan dan memohon
ampunan hanya kepada Nya. Aku bersaksi
tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah,
dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusanNya, Semoga shalawat, salam, dan keberkahan juga
tercurah kepada nabi Muhammad Saw
pembawa risalah mulia, beserta keluarga-nya, sahabatnya dan para pengikutnya
sampai akhir zaman.
Saudaraku,
tiap hari kita beramal sholeh dengan iman yang kokoh yang terhunjam dihati
sanubari. Tentunya kita berharap amal sholeh kita tidak
sia-sia yaitu amal saleh yang diterima oleh Allah dan mendapat balasan baik di
dunia dan di akhirat. Pertanyaan yang
selalu timbul, amal saleh yang
bagaimanakah dapat diterima oleh Allah Swt? Untuk menjawab pertanyaan ini, terdapat
3 hal yang mendasar supaya amal saleh yang
kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu : .
Pertama
menyangkut masalah keimanan.
Yaitu
amal ibadah seseorang hanya akan diterima oleh Allah Swt apabila orang itu
beriman. Pernyatan kalimat “laa
illaha ilallah”. (tidak ada Tuhan selain
Allah), bermakna tidak ada yang disembah
kecuali Allah, tidak ada tempat minta pertongan kecuali kepada Allah. Hanya
orang beriman sajalah yang diterima amal ibadahnya, Allah Swt berfirman, “
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal
saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di
sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (Qs Al Baqarah : 277)
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Qs
An Nahl : 97)
.. . ., maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis
itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta., dengan
ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. (Qs Al Hajj,
30-31)
Kedua
menyangkut masalah batin.
Yaitu segala amal perbuatan harus didasarkan kepada niat
yang ikhlas artinya
saat melakukan amal perbuatan, batin kita harus benar-benar bersih. Rasulullah
saw. bersabda, “Innamal
a’maalu bin-niyyaat, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung
niatnya.” (Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits itu, maka diterima
atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt sangat
bergantung pada niat kita. Kita telah di doktrin bahwa setiap apapun yang kita
kerjakan semata-mata hanya karena Allah, jika tidak karena Allah maka dia
menjadi batal. Allah Swt telah menuntun kita untuk mengucapkan,
Katakanlah:
"Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam,
(Qs Al An’aam
: 162)
.. . ., maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis
itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta., dengan
ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. (Qs Al Hajj,
30-31)
Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya".
(Qs Al Al
Kahfi ) : 110)
Ketiga, menyangkut
segi lahiriah.
Yaitu
setiap amalan harus mengikuti tuntunan baik yang termuat dalam Al Qur’an maupun
dalam As Sunnah. Rasulullah saw bersabda, “Man ‘amala ‘amalan laisa
‘alaihi amrunaa fahuwa raddun, barangsiapa yang mengerjakan
suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu
ditolak.” (Muslim). Artinya jika amal sholeh yang menyangkut ibadah makdhoh haruslah mengikuti
tuntunan dalam Al Qur’an dan sunnah tidak ditambah-tambah atau dikurangi.
Kecuali untuk ibadah-ibadah umum, namun demikian tetap dalam koridor keimanan. Allah swt berfirman, ”
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang
ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan,
dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayanganNya.”
(Qs An-Nisa: 125)
Kecuali
orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada
(agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka
mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan
kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. (Qs An Nisa’ : 146)
Saudaraku, kekasih Allah.
Mari kita fokuskan perhatian kita kepada syarat kedua
yaitu masalah keikhlasan, Dr
A’idh Al Qarni dalam bukunya jagalah
Allah, Allah akan menjagamu, menjelaskan tentang orang
beriman itu adalah wali Allah. Wali
Allah selalu memurnikan ketaatan hanya menyembah kepada Allah dan segala
sesuatunya dimulai dari niat, sikap,
rasa dan perbuatan semata-mata karena Allah.
Oleh karena itu wali Allah bukanlah diukur dengan berpakaian baju
kurung besar atau berpakaian gamis dengan berselendang surban, sebenarnya pakaian tidak ada hubungan dengan
kewalian.
Wali
Allah tidak juga memiliki cara berjalan tertentu yang berbeda dengan lainnya.
Aisyah r.ha pernah melihat sekelompok anak muda yang berjalan lemah. Lalu dia
bertanya, “Siapakah mereka? Orang-orang berkata kepadanya, ”Mereka adalah kaum
yang selalu beribadah. Dia berkata, “ Demi Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah selain
Dia. Umar r.a adalah orang yang lebih takut kepada Allah dari mereka dan lebih
tekun beribadah kepadaNya, tapi jika dia berjalan dengan cepat, jika berbicara,
bicaranya dapat didengar dan jika memukul, pukulannya menyakitkan.
Keikhlasan
para wali Allah, tidak dapat diukur dengan
penampilan, tetapi lebih dari itu. Dr A’idh Al Qarni mengutip pernyataan
seorang ulama bernama Abu Ustman menjelaskan bahwa wali Allah itu ialah :
“Orang yang melakukan segala yang wajib, meninggalkan segala yang haram dan
berbekal dengan sunnah. Dia berhati bersih, berakhlak baik, melakukan shalat
malam, berjihad melawan dirinya sendiri dalam mengimani zat Allah, selalu
beribadah kepadaNya, berhubungan baik dengan sesama manusia, ....... dan
seterusnya dalam uraian yang panjang.
Saudaraku,
tentunya dalam kita beramal ingin semua
amalan itu berdasarkan keikhlasan, supaya amal saleh kita tidak sia-sia. Jika suatu
amal dikerjakan tanpa keikhlasan maka dia seperti debu yang berterbangan Allah
Sw berfirman
Dan
Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan.
(Qs Al Furqaan : 23)
Untuk mengukur apakah amal saleh yang kita lakukan
termasuk kita termasuk orang ikhlas, Dr Yusuf Qardawi dalam bukunya Niat
dan Ikhlas. Menjelaskan tentang tanda orang ikhlas, sebagai berikut
:
1.
Takut
ketenaran.
Orang yang
ikhlas terutama para wali Allah / para ulama/ orang yang takwa meyakini bahwa
penerimaan amal disisi Allah hanya
dengan cara sembunyi-sembunyi, tidak secara terang-terangan apalagi diekpos.
Mereka mengkhawatirkan dan menyangsikan hatinya dari ujian ketenaran, tipuan,
kedudukan dan kemasyhuran. Seorang zuhud terkenal, Ibrahim bin Adam mengatakan
, “ Allah tidak membenarkan orang yang
suka ketenaran.
Tetapi al
Ghazali mengatakan ketenaran itu sendiri bukanlah sesuatu yang tercela. Tidak
ada yang lebih tenar daripada para Nabi, Al Khulafa’ur–rasyidin, dan para imam mujtahidin. Tetapi yang tercela
adalah ketenaran, tahta dan kedudukan serta sangat berambisi mendapatkannya.
Ketenaran tanpa ambisi ini tidaklah menjadi masalah, sekalipun ia tetap menjadi
ujian bagi yang lemah”. Sejalan dengan pengertian ini telah disebutkan dalam
sebuah hadits Abu Dzar, bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang seorang
laki-laki yang melakukan suatu amal, lalu orang-orang menyanjungnya. Maka
beliau menjawab ,”Itu adalah karunia
yang didahulukan sekaligus kabar gembira bagi orang Mukmin, “
2.
Menuduh Diri Sendiri.
Orang yang mukhlis selalu waspada dan senantiasa
menuduh dirinya sendiri sebagai orang yang berlebih-lebihan disisi Allah dan
selalu kurang dalam melaksanakan kewajiban, merasa terpedaya oleh amalnya dan
ta’jub terhadap dirinya sendiri. Bahkan dia takut keburukannya tidak diampuni
dan sebaliknya takut kebaikan-kebaikannya tidak diterima .
Sayyidah
Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang orang yang dinyatakan
dalam firman Allah Swt :”
Dan
orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang
takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan
mereka
((Qs Al Mukminuun : 60)
Apakah mereka orang-orang yang
mencuri, berzina, meminum khamr dan mereka takut kepada Allah? Rasulullah Saw
menjawab, “Bukan wahai putri Ash Shidiq, tetapi mereka adalah orang-orang yang
mendirikan shalat, berpuasa mengeluarkan shadaqah dan mereka takut amalnya
tidak diterima. Mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan
merekalah orang-orang
yang memperolehnya (Diriwayatkan oleh Ahmad
dan lainnya)
3.
Beramal secara
diam-diam jauh dari sorotan
Orang
yang ikhlas lebih suka menjadi prajurit
bayangan yang rela bekorban namun tidak diketahui dan menjadi pejuang yang
tidak dikenal. Dia lebih suka menjadi bagian dari suatu jama’ah layaknya akar pohon yang menjadi
penopang kehidupan, tetapi tidak
terlihat mata, tersembunyi di dalam tanah, atau seperti pondasi bangunan. Tanpa
pondasi, dinding tidak dapat ditegakan
dan atap tidak bisa dibentangkan dan yang pasti bangunan tidak dapat
ditegakan. Dalam suatu hadits yang disampaikan oleh sahabat Muadz, “ Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan, bertakwa dan menyembunyikan amalnya, yaitu jika ia
tidak hadir mereka tidak dianggap hilang dan jika hadir mereka tidak diketahui.
Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk. Mereka keluar dari tempat yang
gelap”
4.
Berbuat Selayaknya
Dalam Memimpin.
Orang
mukhlis akan berbuat selayaknya ketika menjadi pemimpin di barisan terdepan dan
ketika berada di barisan belakang dia tetap patriotik, selagi dalam dua keadaan
itu dia mencari keridhaan Allah. Rasulullah Saw telah menyifati kelompok itu dalam sabdanya, “keberuntungan bagi hamba yang mengambil tali kendali kudanya fi
sabilillah, yang kusut kepalanya dan yang kotor kedua telapak kakinya. Jika
kuda itu berada di barisan belakang, maka dia pun berada di barisan belakang,
dan jika berada diposisi penjagaan dia pun berada di posisi penjagaan
(Diriwayat Al Bukhari). Dalam tarikh Islam kisah Khalid bin Walid dapat
menjadi teladan. Allah meridhai Khalid bin Walid yang diberhentikan sebagai
komandan pasukan, sekalipun dia seorang
komandan yang senantiasa mendapat kemenangan. Setelah itupun dia menjadi
bawahan Abu Ubaidah tanpa merasa sungkan. Dalam posisi seperti itupun dia
tetap memberi andil dalam peperangan.
5. Tidak
menuntut pujian dan tidak terkecoh oleh pujian.
Wali Allah
bersikap, jika ada seseorang memujinya, maka dia tidak terkecoh dengan
hakekat dirinya di hadapan orang yang memujinya, karena toh dia lebih
mengetahui tentang rahasia hati dan dirinya daripada orang lain. Kita ambil
contoh bagaimana sikap Ali bin Abu Thakib r,a., bahwa jika ia dipuji orang
lain, maka dia berkata,” Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang
mereka katakan. Berilah kebaikankepadaku dari apa yang mereka sangkakan dan
ampunilah aku karena apa yang tidak mereka ketahui.
Seorang Rabbani, ketika dia dipuji dia bersenandung
dalam munajat
Mereka berbaik sangka padaku
Pada hal hakikatnya tidaklah
begitu
Tetapi aku adalah orang zhalim
Sebagaimana kalian telah maklum
kau sembunyikan aib yang ada.
6.
Tidak kikir Pujian
terhadap orang yang memang layak di puji
Memuji seseorang mempunyai dua sisi yang dapat menimbulkan bencana, sisi
pertama memberikan pujian dan sanjungan kepada orang yang tidak berhak, di sisi
kedua kikir memberikan pujian kepada orang yang berhak. Oleh karena Itu
Rasulullah Saw memberi contoh memuji para sahabat.
Sabda beliau tentang
Abu Bakar,” Andaikata aku boleh mengambil seorang kekasih selain Rabbnku,
niscaya aku mengambil Abu Bakar sebagai
kekasihku. Tetapi dia adalah saudara dan sahabtku.
Sabda beliau tentang
usman, “ Sesungguhnya dia adalah orang yang para malaikat merasa malu terhadap
dirinya.
Sabda beliau kepada
Khalid, “ Dia adalah salah satu dari pedang-pedang Allah
Sabda beliau kepada
Ali, Di mataku engkau seperti hatrun di mata Musa.
Masih banyak lagi
para sahabat di puji Nabi Saw, karena kelebihan dan penonjolan mereka,
Sebaliknya jika ada orang tidak mau memuji boleh jadi, karena ada maksud
tertentu di dalam dirinya atau karena merasa iri yang disembunyikan. Juga
karena tidak mampu untuk melemparkan celaan, maka setidak-tidaknya diam saja.
Orang yang ikhlas melontarkan pujian memang sepantasnya untuk dipuji dan memuji
pun karean Allah Swt.
7.
Mencari keridhaan Allah
bukan mencari keridhaan manusia
Orang
yang ikhlas beramal semata-mata mencari
kerindhaan Allah bukan keridhaan manusia. Sebab boleh jadi jika orang ingin
mendapat keridhaan manusia tetapi
dibalik itu ada kemurkaan Allah Azza Wa Jalla. Hal ini sangat sulit,
karena kecenderungan manusia membuat orang ridha lebih utama daripada
keridhaan Allah. Disinilah letak titik kritis bagi orang yang benat Ikhlas
8.
Rakus terhadap amal
yang bermanfaat.
Orang yang mukhlis lebih mementingkan amal
yang lebih banyak manfaatnya dan lebih mendalam pengaruhnya, tanpa disusupi
hawa nafsu dan kesenagan diri sendiri. Dia banya mengerjakan puasa nafilah dan shalat-shalat sunat. Tetapi jika
ada yang lebih besar pahala maka akan dikerjanya. Misalnya mendamaikan orang
yang sedang bertikai maka kegiatan menjadi utama. Hal dijelaskan dalam suatu
hadits. Rasulullah bersabda, ‘ Ketahuilah, akan keberitahukan kepada kalian
tentang sesuatu yang utama dari pada derajat
puasa dan, shalat dan shadaqah. Yaitu mendamaikan diantara sesama manusia
. Sebab kerusakn diantara sesama manusia adalah pemotong (diriwayatkan Abu Dawud
dan At Tirmidzy)
9.
Sabar Sepanjang Jalan
Orang yang
mukhlis dalam perjuangan selalu sabar, seperti dikisahkan dalam Al Qur’an tentang Nabi Nuh :
“Nuh
berkata: "Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan
siang, maka seruanku itu hanyalah me-nambah mereka lari (dari kebenaran). Dan
sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau
mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan
menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan
menyom-bongkan diri dengan sangat . (Qs Nuh : 5-7)
Sekalipun
Nuh harus menghabiskan selama 950 tahun beliau tetap menyeru kepada kaumnya,
akhirnya ada 40 orang yang berhimpun dengannya. Dia tegar, hasil dan buah di
dunia diserahkan kepada Allah, karena Allah yang menyediakan sebab-sebab dan
membatasi waktunya. Sesungguhnya di akhirat Allah tidak akan bertanya kepada
manusia, “Mengapa engkau tidak memperoleh kemenangan? Tetapi
Dia akan bertanya, mengapa engkau tidak berusaha?”
10.
Merasa Senang jika ada
yang bergabung.
Merasa
senang jika ada yang bergabung dalam kelompoknya, dia tidak merasa terganggu,
terganjal, dengki ataupun gelisah karena kehadiran orang lain. Bahkan, bagi
seorang yang benar-benar ikhlas melihat ada orang lain yang lebih baik darinya
mau mengambil tanggung jawab, maka dengan senang hati hati akan mundur, memberi
tanggung jawabnya kepada orang itu dan dia merasa senang senang menyerahkan
tanggung jawab. Hal ini disebabkan ia berorientasi pencapaian suatu tujuan lebih utama
dalam lingkup mencari keridhaan Allah.
11.
Menghindari ujub
Diantara
tanda kesempurnaan ikhlas ialah tidak merusak amal dengan ujub, yaitu merasa
senang dan puas terhadap amal yang telah dilakukannya. Sikap seperti ini bisa membutakan matanya untuk melihat
celah-celah sewaktu yang sewaktu-waktu muncul.
Orang yang ikhlas menghindari ujub, karena dengan ujub amalnya tidak
diterima oleh Allah Swt. Ali bin Abu Thalib menjelaskan, “ Satu keburukan menyesakkan lebih baik di
sisi Allah daripada kebaikan yang
membuatmu ujub. Sedangkan Ibnu
Atha’illah menjelaskan hampir senada, “ Kedurhakaan yang membuahkan ketundukan
dan kepasrahan lebih baik daripada ketaatan yang membuahkan ujub dan
kesombongan. Rasulullah Saw dengan tegas menjelaskan tentang ujub, “ Tiga
perkara yang merusak dan tiga perkara yang menyelamatkan. Tiga perkara yang
merusak yaitu kekikiran yang ditaati,
hawa nafsu yang diikuti dan ujub seorang terhadap dirinya sendiri.
Orang Mulim
harus waspada, jangan sampai ujub terhadap diri sendiri, karena kesalehan yang dilakukan. Dia
mempunyai keyakinan bahwa hanya dialah
yang beruntung sedang yang lain merugi. Atau menyatakan semua kaum
Muslimin rusak, hanya dirinya yang baik.
Atau hanya kempok dialah yang
mendapat pertolongan Allah sedang kelompok lain ditelantarkan. Hal seperti ini
tidak terjadi bagi orang ikhlas.
12.
Menjadikan Keridhaan
dan kemarahan karena Allah.
Orang yang
mukhlis wujud keridhaannya dan kemurkaan harus dilakukan karena Allah, bukan
karena pertimbangan kepentingan pribadi. Hal ini dicela oleh Allah Swt :
Dan
di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika
mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka
tidak diberi sebahagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. (QS
At Taubah : 58)
Boleh jadi
engkau pernah melihat orang-orang yang aktif berdakwah,
bila ada salah seorang rekannya melontarkan perkataaan yang melukai perasaannya,
atau tindakan yang menyakiti dirinya,
maka secepat itu pula dia marah dan meradang, lalu meninggalkan haraqah dan
aktifitasnya, meninggalkan medan jihad dan dakwah. Ikhlas untuk mencapai tujuan
menuntut untuk tegar dalan setiap langkah, sekalipun orang lain menyalahkannya,
meremehkan dan bertindak kelewat batas terhadap dirinya.
13.
Peringatan agar
membersihkan diri
Hamba yang ikhlas selalu membersihkan dirinya dari segala sesuatu yang
merusak keikhlasannya. Dan dia juga berusaha menjaga dirinya terbuai dengan
pujian dan sanjungan. Apalagi untuk untuk menyatakan dirinya suci, Orang yang
ikhlas, sadar benar bahwa Allah lebih mengetahui tentang dirinya apakah dia
suci atau tidak. Allah Swt berfirman, “
Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika
Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu;
maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui
tentang orang yang bertakwa.
(Qs An Najm : 32
Inilah
beberapa tanda-tanda orang yang ikhlas, sebagai cerminan bagi kita untuk mengukur
tingkat keikhlasan diri kita dalam beribadah kepada Allah Swt. Rasulullah Saw
bersabda, “ Sesungguhnya Allah tidak
melihat kepada jasad dan rupa-rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati
kalian,” Beliau memberi isyarat ke arah hati dengan jari-jari tangan dan berkata,”
Takwa itu terletak disini. Dan beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali
(Diriwayatkan Muslim)
Rabbanaa
laa tuzigh quluubanaa ba’da idz-hadaitanaa wahab lanaa min ladunka rahmatan
innaka antal-wahhab.
Ya Allah Tuhan kami, janganlah
Engkau sesatkan kami sesudah mendapat petunjuk, berilah kami rahmat dari
sisi-Mu. Karena sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemurah.
Wallahu
a’lam bish shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar