TAKWA
DAN PUASA
Bismillaahirrahmanirrahiim
(Dengan Nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang)
Segala puji bagi Allah swt yang menguasai
langit dan bumi, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda- tanda
kebesaranNya, maka kamu akan mengetahuinya.
Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan
kepada pemimpin mu-lia Muhammad
Saw, juga kepada seluruh keluarga, para sahabatnya dan pengikutnya.
Saudaraku yang dirahmati Allah
Puasa salah satu ibadah yang mengantar manusia
untuk bertakwa. Allah Swt berfirman,
“
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa, (Qs Al Baqarah : 183)
Tujuan akhir puasa
mengantarkan orang menjadi takwa, maka setiap orang beriman harus mengetahui
secara benar apa itu takwa dan bagaimana supaya benar-benar menjadi orang yang
bertakwa.
Dalam
suatu hadits Ibnu Hatim meriwayatkan
dari Abdullah bin Mas’ud Rasulullah Saw
menafsiri firman Allah Ta’ala’
bertakwalah
kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya (Qs
Ali Imran : 102)
dengan sabdanya : “ Yaitu agar Allah dipatuhi dan tidak didurhakai, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufur. Sebenarnya sabda Rasulullah sudah lebih dari cukup untuk memahami apa yang dimaksud takwa. Namun demikian para sahabat para ulama menguraikan sabda Rasulullah Saw dengan caranya sendiri dengan maksud supaya lebih difahami dengan benar dan dilaksanakan secara benar pula. Inilah bsalah satu ucapan para sahabat dan para ulama menjelaskan tentang takwa.
Ubay bin Ka’ab seorang sahabat Rasulullah SAW, pernah memberikan gambaran yang jelas tentang hakikat takwa. Pada waktu itu, Umar bin Khaththab bertanya kepada Ubay tentang apa itu takwa. Ubay balik bertanya : “Bukankah Anda pernah berjalan di tempat yang penuh duri?” Umar menjawab : “Ya, pernah.” Ubay bertanya lagi : “Lalu Anda berbuat apa?” Umar menjawab: “Saya sangat hati-hati dan bersungguh-sungguh menyelamatkan diri dari duri itu.” Ubay menimpali : “Itulah (contoh) takwa.”
Ubay bin Ka’ab seorang sahabat Rasulullah SAW, pernah memberikan gambaran yang jelas tentang hakikat takwa. Pada waktu itu, Umar bin Khaththab bertanya kepada Ubay tentang apa itu takwa. Ubay balik bertanya : “Bukankah Anda pernah berjalan di tempat yang penuh duri?” Umar menjawab : “Ya, pernah.” Ubay bertanya lagi : “Lalu Anda berbuat apa?” Umar menjawab: “Saya sangat hati-hati dan bersungguh-sungguh menyelamatkan diri dari duri itu.” Ubay menimpali : “Itulah (contoh) takwa.”
Menggapai takwa dibulan Ramadhan
Momentum bulan Ramadhan adalah kesempatan yang sangat tepat untuk menggapai predikat takwa. Karena rangsangan untuk berbuat baik dan mencegah ksegala bentuk maksiat makin besar. Disamping itu harus diingat kembali bahwa semua amalan di bulan Ramadhan semuanya merupakan keutamaan ditinjau dari segi manapun seperti ketaatan, kesabaran, kekhusyu’an dan sebagainya. Sedangkan untuk berbuat maksiat ruangnya makin dipersempit karena setan dibelenggu oleh karena itu peluang untuk beribadah makin besar.
Para ulama menyatakan ada lima jalan menggapai ketakwaan, maka kelima jalan itu sangat erat dengan pelaksanaan berbagai ibadah dibulan Ramadhan. Jalan-jalan tersebut adalah :
1. Muhasabah.
Bulan Ramadhan adalah waktu yang tepat evaluasi diri dan meningkatkan kualitas diri dengan selalu mengambil hikmah dari setiap sesuatu yang terjadi dalam diri kita. Memeriksa diri sendiri merupakan bagian penting dalam upaya meningkatkan ketakwaan. Jika seorang muslim merasa dirinya telah beriman dan kemudian merasa dirinya lebih takwa dari muslim lainnya. Atau barangkali merasa ketakwaannya sudah memberi cukup bekal untuk menghadap Allah di hari akhirat. Jika hal ini telah terbersit didalam hati maka hal ini menujukan terjadinya suatu tingkat degradasi ketaqwaan. Allah Swt berfirman dalam Al Qur’an :
maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang
orang yang bertakwa. (Qs An Najm : 32)
Firman Allah Swt
mengingatkan kita selalu mawas diri jangan menyatakan kita terbaik apalagi
menyatakan suci. Salah satu sifat terpuji menurut agama mana pun adalah mau
mengakui kesalahan sendiri yang terlanjur dilakukan. Orang bijak berkata : “ Orang berakal itu adalah bukannya yang
pandai mencari-cari akal untuk membenarkan kejelekannya setelah ia terjatuh di
dalamnya, tetapi orang yang berakal itu adalah orang yang pandai menggunakan
akalnya untuk mengakali kejelekan agar
dirinya tidak terjatuh kedalamnya.”
Suasana bukan Ramadhan memberikan peluang untuk
bermuhasabah, ketika sebelum shalat, sesudah shalat dan terutama lagi ketika
shalat malam maka bertanyalah kepada diri sendiri. Untuk memantapkan perenungan dalam upaya memeriksa diri mari kita camkan sabda Rasulullah
Saw : Pada hari kiamat nanti, tidak dapat
bergeser kaki seseorang sehingga ia ditanya mengenai empat perkara : (1) Tentang umurnya, dalam hal apa ia habiskan. (2) tentang masa mudanya, untuk apa ia
gunakan. (3) tentang hartanya, dari mana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan.
(4) tentang ilmunya, sejauh mana ia amalkan.
2. Mu’ahadah
adalah mengingat perjanjian manusia dengan Allah Swt. Bulan Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk kita mengingat-ingat kembali janji yang pernah kita katakan. Sebelum manusia lahir ke dunia, ketika masih berada pada alam gaib, yaitu di alam arwah, Allah telah membuat “kontrak” tauhid dengan ruh. Karena itu, logis sekali jika manusia tidak pernah merasa membuat kontrak tauhid tersebut. Allah swt berfirman,
Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
(Qs Al ‘Araaf : 172)
Jika kita merenung lebih jauh, bahwa dalam kehidupan dunia untuk menciptakan keteraturan maka janji meupakan suatu proses penting, Sebagai manusia makhluk Allah apalagi sebagi muslim banyak janji yang telah kita ucapkan dan janji itu dituntun dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Sedangkan manusia dalam berintraksi dengan manusia dalam hubungan sebagai warga negara, profesi atau apa saja kedudukan kita diikat dengan janji. Termasuk janji dalam kehidupan rumah tangga. Jika kita engkar janji maka akan terjadi kekacauan pada diri kita sendiri bahkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat. Maka setiap orang menselihi atau engkar janji akan menerima sanksi dan sanksi itu membuat dirinya sengsara baik di dunia maupun di akhirat.
Saudaraku, semakin sering kita mengingat janji, insya Allah kita akan senantiasa menapaki kehidupan dengan benar, dan makin serius kita mengerjakan semua amal ibadah di bulan Ramadhan.
Saudaraku, semakin sering kita mengingat janji, insya Allah kita akan senantiasa menapaki kehidupan dengan benar, dan makin serius kita mengerjakan semua amal ibadah di bulan Ramadhan.
3. Mujahadah.
Dalam kamus Arab-Indonesia karangan Prof DR H Mahmud Yunus “mujahadah” dengan kata dasar jahadu dengan variannya berarti bersungguh-sungguh, berjuang, kepayahan, perjuangan. Dari kata jihad itu oleh ulama fiqh mengartikan sebagai pengerahan kemampuan dengan sungguh-sungguh untuk menggali dan memahami makna yang dikandung oleh Qur’an dan sunnah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mujahadah adalah bersungguh-sungguh / berjuang di ajalan Allah untuk menggapai takwa. Dalam hal ini Allah menegaskan dalam firman Nya :
Dalam kamus Arab-Indonesia karangan Prof DR H Mahmud Yunus “mujahadah” dengan kata dasar jahadu dengan variannya berarti bersungguh-sungguh, berjuang, kepayahan, perjuangan. Dari kata jihad itu oleh ulama fiqh mengartikan sebagai pengerahan kemampuan dengan sungguh-sungguh untuk menggali dan memahami makna yang dikandung oleh Qur’an dan sunnah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mujahadah adalah bersungguh-sungguh / berjuang di ajalan Allah untuk menggapai takwa. Dalam hal ini Allah menegaskan dalam firman Nya :
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh dan carilah jalan
yang mendekatkan diri kepada-Nya dan BERJIHADLAH pada jalan-NYA agar supaya
kamu sekalian mendapat keberuntungan.
(Qs Al Maa-idah 35)
Dalam bulan Ramadhan ini jika ibadah tidak dibarengi dengan perjuangan, hanya menggugurkan kewajiban saja maka ibadah kita akan jadi sia-sia. Saudaraku, mari kita laksanakan ibadah dibulan Ramadhan dengan kesungguhan dan ada julukan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Jihad. Karena di dalam bulan Ramadhan melawan hawa nafsu dari diri kita sendiri,, dan sekaligus menghadapi berbagai godaan dari luar diri kita, insya Allah kita akan memperoleh kemenangan.
4. Muraqabah.
Muraqabah, adalah senantiasa merasa diawasi oleh Allah Swt. Inilah diantara pilar ketakwaan yang harus dimiliki setiap kali kita mengawali suatu kegiatan dan menutup kegiatan tersebut. Itulah amalan puasa yang sangat diperlukan yaitu kejujuran dilihat atau tidak dilihat manusia dia tetap jujur. Perasaan selalu merasa diawasi oleh Allah dalam bahasa hadisnya adalah Ihsan. ” artinya : “Ihsan adalah engkau senantiasa beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, kalau pun engkau belum bisa melihat-Nya, ketahuilah sesungguhnya Allah melihat kepadamu”.
Puasa salah satu ibadah yang mengantar manusia untuk bertakwa. Karena puasa adalah ibadah yang paling pribadi, paling personal. Jika ibadah lain mudah tampak oleh mata, maka tidak demikian dengan puasa. Seorang mengerjakan shalat atau tidak, bisa kita ketahui. Kita juga bisa tahu, apakah seseorang membayar zakat atau tidak. Orang yang beribadah haji lebih mudah lagi kita ketahui, karena haji adalah ibadah yang sangat demonstratif. Tetapi, tidak ada yang tahu kita benar-benar berpuasa, kecuali diri kita sendiri dan Allah Swt. Karena cukuplah puasa kita batal hanya dengan meminum seteguk air pada pada waktu kita tak tahan dan sendirian. Dengan seteguk air yang kita mengharapkan untuk meringankan derita haus, maka seluruh puasa kita telah hilang. Hal itu hanya kita sendiri dan Allah swt yang tahu. Itulah sebabnya dalam sebuah hadis Qudsi, dijelaskan : “ Dari Abu Shalih Az Zayyat, ia mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, Allah berfirman, “ setiap amal anak Adam bagi dirinya, puasa itu untukKu dan Akulah yang menanggung pahalanya (HR Bukhari)
5. Mu’aqobah.
Mu’aqobah artinya, mencoba memberi sanksi kepada diri manakala diri melakukan sebuah kekhilafan, memberikan teguran dan sanksi kepada diri kalau diri melakukan kesalahan. Jika kita melaksanakan puasa, mu’aqobah ini penting dilakukan agar kita senantiasa meningkatkan amal ibadah kita. Manakala kita terlewat shalat subuh berjamaah maka hukumlah diri dengan infak disiang hari, misalnya. Manakala diri terlewat membaca al-Qur’an ‘iqoblah diri dengan memberi bantuan kepada simiskin. Kalau diri melewatkan sebuah amal shaleh maka hukumlah diri kita sendiri dengan melakukan amal shaleh yang lain. Inilah yang disebut mu’aqabah. Jika sikap ini selalu kita budayakan, insya Allah ibadah puasa kita benar-benar menuju kepada ketakwaan.
Saudaraku, dengan uraian diatas bahwa puasa dan takwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Orang yang beriman dapat dikatakan bertakwa apabila dapat melaksanakan semua apa yang diperintahkan. Suatu hal yang musykil menggapai takwa tanpa melaksanakan puasa.
"Ya
Allah, bulan Ramadhan telah menaungi kami dan telah hadir maka serahkanlah ia
kepada kami dan serahkanlah kami kepadanya Karuniailah kami kemampuan untuk
berpuasa dan shalat di dalamnya, karuniailah kami di dalamnya kesungguhan,
semangat, kekuatan dan sikap rajin. lindungilah kami didalamnya dari berbagal
fitnah ' . Amin
Wallahu a’lam bish shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar